Terwujud

Pembahasan tentang Jiwa



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !, jika ada unek-unek komen aja
Pembahasan tentang jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari masa klasik hingga modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, persoalan jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga berarti nafsu, apakah ia juga berarti akal, masing-masing ahli punya pendapat yang berbeda-beda karena dalam ajaran Islam masalah jiwa adalah rahasia Tuhan. Secara pasti manusia tidak mengetahui hakekat sebenarnya, manusia hanya mengetahui sedikit saja melalui informasi teks suci.[1]

Jiwa manusia merupakan rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber pengetahuan bermacam-macam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi diketahui hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber pikiran yang jelas, namun sebagian besar pikiran-pikiran tentang jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia sejak masa pertamanya sampai sekarang ini masih selalu berusaha dan menyelidiki apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan badan. Permasalahan jiwa dalam kajian etika berfokus pada pengenalan terhadap jiwa tersebut sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan kondisi jiwa yang baik dan melahirkan perbuatan yang baik pula, sesuai dengan fitrah dan kemauan jiwa kemanusiaan.

Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa. Setiap tingkah laku atau perbuatan yang lahir merupakan cermin dari kondisi jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari kondisi jiwa yang sehat, sedangkan perilaku yang buruk merupakan sebab dari kondisi jiwa yang buruk pula.

Al-kindi menjelaskan, bahwa dalam diri manusia, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan. Daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[2] Seseorang yang dapat menguasai tiga daya tersebut dan dapat mengendalikannya ke arah yang baik maka orang tersebut telah berhasil dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.

Perhatian yang khusus terhadap masalah jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi segi-segi kejiwaan menjadi dua segi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan lainnya yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[3]

Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati manusia dan memancarkan akibatnya kepada anggotanya. Seseorang yang ingin menulis bagus, pada mulanya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis bagus. Apabila kebiasaan ini sudah lama, maka paksaan tidak diperlukan lagi karena digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[4]

Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim yang terkenal dengan kitabnya Tahdzib al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa adalah sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut semakin jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa semakin sempurna, apabila jiwa bebas dari indera, maka jiwa semakin kuat dan sempurna serta semakin mampu menilai yang benar dan menangkap ma’qulat yang simpel. Inilah dalil terjelas bahwa tabiat dan subtansi jiwa ini berbeda dengan tabiat wadah kasar, dan bahwa jiwa merupakan subtansi yang lebih mulia dan memiliki tabiat yang lebih tinggi daripada semua benda yang ada di alam ini.[5]

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang berkaitan dengan berfikir, melihat dan mempertimbangkan realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam-macam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari yang lainnya. Hal ini bisa diketahui dari kenyataan terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang lainnya. Salah satu dari ketiganya dapat meniadakan tindakan-tindakan dari yang lain, atau terkadang dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa.

Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas binatang buas, dan organ tubuh yang dipergunakan disebut jantung.[6]

-----------------------------------
[1] Dalam al-Qur’an dikatakan jiwa (ruh/nafs-jiwa) menjadi sumber hidup dan diambil dari tuhan (lihat: QS. Shad: 71-72) dan bahwa jiwa itu merupakan rahasia Tuhan pada makhluknya, yang oleh karena itu jika manusia tidak bisa mengetahui hakekatnya, maka tidaklah mengherankan. (lihat: QS. al-Isra’: 85) al-Qur’an juga menginformasikan tentang “jiwa penegur” (al-nafs al-lawwamah) yang tidak suka kepada perbuatan-perbuatan rendah (QS. al-Qiyamah: 1-2) kemudian tentang tingkatan jiwa tertinggi, yaitu “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthmainnah) (QS. al-Fajr: 27) dan tempat kembali semua jiwa adalah Tuhan (QS. al-Zumar: 42). Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 121
[2] Harun Nasution, Filsafat & mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 18
[3] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 126
[4] Hamzah Ya’kub, h. 92
[5] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terjemahan. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, h. 36
[6] Ibid., h. 43-44


Artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Artikel Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF

You Might Also Like:

Previous
Next Post »

Saya akan sangat senang jika ada komentar yang membangun, tetapi:

*Jangan komentar SPAM
*Jangan menanam link
*Jangan ada unsur sara, Fornografi dan memojokkan

Komentar yang melanggar akan dimasukkan kedalam daftar SPAM dan tidak akan diijinkan lagi.

Klik dan Copy Icon di bawah:
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

By: Terwujud.com
Terima Kasih!!

Copyright © 2014 Terwujud.com - All Rights Reserved